MAKALAH STUDY QUR'AN: AL AHRUF ASSAB'AH WAL QIRA'AH

No Comments
PENDAHULUAN
1.          LATAR BELAKANG
                Qiraat merupakan salah satu cabang ilmu dalam ‘Ulum al-Qur’an, namun tidak banyak orang yang tertarik kepadanya, kecuali orang-orang tertentu saja, biasanya kalangan akademik. Banyak faktor yang menyebabkan hal itu, di antaranya adalah, ilmu ini tidak berhubungan langsung dengan kehidupan dan muamalah manusia sehari-hari; tidak seperti ilmu fiqih, hadis, dan tafsir misalnya,yang dapat dikatakan berhubungan langsung dengan kehidupan manusia. Hal ini dikarenakan ilmu qira’at tidak mempelajari masalah-masalah yang berkaitan secara langsung dengan halal-haram atau hukum-hukum tertentu dalam kehidupan manusia.
               Begitu juga dengan Al Ahruf Assab’ah (huruf-hurung yang tujuh). Banyak orang yang mengira bahwa Al Ahruf Assab’ah sama dengan qira’ah, padahal terdapat perbedaan yang mendasar diantara keduanya. Karena memang kedua ilmu ini cukup rumit untuk dipelajari. Untuk mengetahui apa maksud dan perbeda’an dari Al Ahruf Assab’ah dan Qira’ah seseorang tentu harus mengetahui dasar-dasar dari ilmu Al-Qur’an dan juga pengetahuan bahasa arab yang baik karena keduanya merupakan alat pokok untuk menggeluti kedua ilmu ini.
                Meskipun demikian dua ilmu ini telah sangat berjasa dalam menggali, menjaga dan mengajarkan berbagai “cara membaca” al-Qur’an yang benar sesuai dengan yang telah diajarkan Rasulullsh Salallahu alahi wassalam. Para ahli qiraat telah mencurahkan segala kemampuannya demi mengembangkan ilmu ini. Ketelitian dan kehati-hatian mereka telah menjadikan al-Qur’an terjaga dari adanya kemungkinan penyelewengan dan masuknya unsur-unsur asing yang dapat merusak kemurnian al-Qur’an. Tulisan singkat ini akan memaparkan secara global tentang ilmu Qira’at al-Qur’an, dapat dikatakan sebagai pengenalan awal terhadap Ilmu Qira’at al-Qur’an.

2.  RUMUSAN MASALAH
     Secara garis besar terdapat beberapa rumusan masalah
     1.   Dalil-dalil mengenai Al Ahruf assab’ah wal qiro’ah
     2.   Maksud Al Ahruf assab’ah wal qiro’ah
     3.   Makna qiraat
     4.   Asmaul qura ashrah
     5.   Perbedaan antara Al Ahruf Assab’ah dan Qira’ah

PEMBAHASAN
1.          DALIL
               Al-Qur’an diturunkan dalam bahasa arab yang jelas. Hal ini adalah suatu yang wajar karena Al-Qur’an diturunkan ketengah-tengah umat yang berbahasa arab melalui Nabi yang berbahasa arab sekalipun ini bukan berarti bahwa islam hanya untuk bangsa arab. Ada beberapa dalil Hadits yang menjelaskan bahwa al-Qur’an diturunkan dengan tujuh huruf. Antara lain :

    حدّثَنا عبدُ اللهِ بنُ يوسُفَ أخبرَنا مالكٌ عنِ ابنِ شِهابٍ عن عُروةَ بنِ الزّبَيرِ عن عبدِ الرحمنِ بنِ عبدٍ القاريّ أنهُ قال: سمعتُ عمرَ بنَ الخَطّابِ رضيَ اللهُ عنهُ يقول: «سمعتُ هشامَ بنَ حَكيمِ بنِ حِزامٍ يَقرأُ سورةَ الفُرقانِ على غيرِ ما أقرَؤها، وكان رسولُ الله صلى الله عليه وسلّم أقرَأَنيها، وكِدْتُ أن أعجَلَ عليه، ثمّ أمهلتُهُ حتّى انصَرَفَ، ثمّ لبّبْتُهُ بردائِه فجئتُ بهِ رسولَ الله صلى الله عليه وسلّم فقلتُ: إني سمعتُ هذا يقرأُ على غيرِ ما أقرَأْتَنيها. فقال لي: أرسِلْهُ. ثمّ قال لهُ: اقرَأْ. فقرأَ. قال: هكذا أُنزِلَتْ. ثمّ قال لي: اقرَأْ. فقرأتُ. فقال: هكذا أُنزِلَتْ، إنّ القرانَ أُنزِلَ على سبعةِ أحرُفٍ، فاقرَؤوا منهُ ما تَيسّرَ(متفق عليه)».
               “Meriwayatkan yang lafazhnya dari Bukhari bahwa; “Umar bin Hattab berkata: “Aku mendengar Hisham bin Hakim membaca surat al-Furqan di masa hidupya Rasulullsh Salallahu alahi wassalam  , aku mendengar bacaannya, tiba-tiba ia membacanya dengan beberapa huruf yang belum pernah Rasulullsh Salallahu alahi wassalammembacakannya kepadaku sehingga aku hampir beranjak dari s{alat, kemudian aku menunggunya sampai salam. Setelah ia salam aku menarik sorbannya dan bertanya: “Siapa yang membacakan surat ini kepadamu?”. Ia menjawab: “Rasulullsh Salallahu alahi wassalamyang membacakannya kepadaku”, aku menyela: “Dusta kau, Demi Allah Ta’ala sesungguhnya Rasulullsh Salallahu alahi wassalamtelah membacakan surat yang telah kudengar dari yang kau baca ini”. Setelah itu aku pergi membawa dia menghadap Rasulullsh Salallahu alahi wassalamlalu aku bertanya: “Wahai Rasulullsh Salallahu alahi wassalam aku telah mendengar lelaki ini, ia membaca surat al-Furqan dengan beberapa huruf yang belum pernah engkau bacakan kepadaku, sedangkan engkau sendiri telah membacakan surat al-Furqan ini kepadaku”. Rasulullsh Salallahu alahi wassalammenjawab: “Hai ‘Umar! lepaskan dia. “Bacalah Hisham!”. Kemudian ia membacakan bacaan yang tadi aku dengar ketika ia membacanya. Rasulullah  bersabda: “Begitulah surat itu diturunkan” sambil menyambung sabdanya: “Bahwa al-Qur’an ini diturunkan atas tujuh huruf maka bacalah yang paling mudah!”.  (Mutafaqun Alaih))

2.  MAKSUD DAN PENGERTIAN
     A.  Makna Sab’ah Ahruf
                 Tidak terdapat nas sarih yang menjelaskan maksud dari sab’at ahruf. Sehingga menjadi hal yang lumrah kalau para ulama,-berdasarkan ijtihadnya masing-masing, berbeda pendapat dalam menafsirkan pengertiannya. Ibn Hibban al-Busti (w. 354 H) sebagaimana dikutip al-Suyuti mengatakan bahwa perbedaan ulama dalam masalah ini sampai tiga puluh lima pendapat. Sementara al-Zarqani dalam kitabnya hanya menampilkan sebelas pendapat secara detail dari perbedaan-perbedaan ulama tersebut. Perbedaan ulama mengenai pengertian sab’at ahruf ini tidak berasal dari tingkatan kualifikasi mereka atas hadis-hadis tentang tema dimaksud. Perbedaan itu justru muncul dari lafaz sab’at dan ahruf yang masuk kategori lafaz-lafaz musytarak, yaitu lafaz-lafaz yang mempunyai banyak kemungkinan arti, sehingga memungkinkan dan mengakomodasi segala jenis penafsiran. Selain itu juga disebabkan adanya fenomena historis tentang periwayatan bacaan al-Qur’an yang memang beragam. Berikut ini sebagian dari pendapat-pendapat tersebut:
            1. Sebagai tujuh bentuk bahasa yang berbeda lafalnya, tetapi sama maknanya
            Al-Tabari, dan jumhur ulama fiqh, dan hadis mengartikan sab’at ahruf sebagai tujuh bentuk bahasa yang berbeda lafalnya, tetapi sama maknanya. Dengan bahasa lain, sab’at ahruf di sini dapat diartikan tujuh bahasa dari bahasa-bahasa Arab tentang lafaz-lafaz tertentu yang berbeda lafaznya tetapi sama maknanya, seperti lafaz halumma, qasdi, ta’al, nahwi, dan aqbil. Meskipun kata-kata tersebut berbeda dalam pelafalan namun maknanya satu, yaitu perintah untuk datang. Al-Tabari, dan ulama yang sepakat dengannya mendasarkan pendapatnya ini pada hadis Abu bakrah yang meriwayatkan permintaan Rasulullsh Salallahu alahi wassalam kepada Jibril untuk memberikan alternatif pembacaan al-Qur’an lebih dari satu. Alasan lain adalah hadis Anas yang membaca Q.S. al-Muzammil (73): 6, dengan bacaan أشد وطأ وأقوم قيلا ketika ditanya tentang bacaannya tersebut, Anas menjawab bahwa lafaz أصوب أقوم أهياء adalah satu arti. Begitu pula hadis yang diirwayatkan Ubay ibn Ka’ab yang membaca surat al-Baqarah: 20 dengan tiga variasi bacaan. Namun demikian tidak semua makna mempunyai tujuh lafaz yang senada dengan makna tersebut. Tetapi semua makna yang bisa diwakili oleh suatu lafaz, lafaz ini sajalah yang dipakai. Adapun jika ungkapan makna itu bisa diwakili dengan dua lafaz, maka dua lafaz inilah yang dipakai, begitu seterusnya hingga tujuh lafaz Riwayat dan dalil-dalil yang dikemukakan di atas tidak hanya dipegangi oleh ulama-ulama zaman klasik dan pertengahan semacam al-Tabari, Sufyan ibn Uyainah, Ibn Wahb, Khalaiq, dan al-Tahawi, tetapi diikuti pula oleh penulis-penulis kontemporer semisal Manna’ al-Qattan, Abd al-Mun’im al-Namr, Abd al-Sabur Syahin, Umar Shihab, dan Hasbi ash-Shiddieqy. umar shihab berkata: “…perbedaan yang dapat diterima hanyalah perbedaan bahasa yang semakna”. Sedangkan T.M. Hasby Ash-Shiddieqy menjelaskan bahwa Al-Qur’an diturnkan dengan lahjah-lahjah yang biasa dipakai oleh suku quraisy dan suku-suku lainnya di tanah arab sehingga hasillah bagi Al-Qur’an beberapa macam bunyi lahjah. Sedangkan lahjah yang biasa dipakai di tanah arab ada tujuh macam. Manna’ al-Qattan misalnya berkata: “Bahwa yang dimaksud dengan huruf-huruf yang tujuh adalah tujuh bahasa dari bahasa-bahasa Arab tentang makna yang sama”. Dalam membangun argumentasi, al-Tabari tidak hanya mendasarkan kepada teks-teks kitab suci, alasan-alasan rasionalpun ia pergunakan untuk memperkuat pendapatnya ini. al-Tabari berpendapat bahwa perbedaan yang terjadi di antara sahabat dalam pembacaan al-Qur’an hanya sebatas perbedaan lafaz bukan pada perbedaan makna, karena menurutnya tidak mungkin Rasulullsh Salallahu alahi wassalam membenarkan semua yang diperselisihkan sahabat bila yang diperselisihkan itu berkaitan dengan masalah makna (hukum) seperti mengenai halal-haram, janji dan ancaman, dan sebagainya. Ini sebagai bukti bahwa perbedaan yang ada hanya pada pelafalan bahasa atau dialek al-Qur’an yang telah diajarkan Rasulullsh Salallahu alahi wassalam kepada para sahabat. Ibn Kasir mengutip perkataan al-Tahawi dan yang lainnya, “Bahwasanya adanya tujuh huruf itu adalah sebagai rukhsah (dispensasi) agar orang-orang boleh membaca al-Qur’an dalam tujuh bahasa”. Hal ini berlaku tatkala kebanyakan orang Islam kesulitan untuk membaca dalam bahasa Quraisy dan bacaan Rasulullsh Salallahu alahi wassalam, dikarenakan keterbatasan kemampuan yang dimiliki sebagian umat Islam saat itu.

2.   Sab’at ahruf sebagai tujuh bentuk (awjuh) perubahan
           Pendapat kedua, Ibn Qutaibah menafsirkan sab’at ahruf dengan tujuh bentuk   (awjuh) perubahan, yaitu:
 a. Perbedaan dalam I’rab atau harakat kalimat tanpa perubahan makna dan bentuk kalimat, misalnya pada firman Allah Ta’ala pada surat An-nisa’ ayat 37 tentang pembacaan “Bil Buhkhli” (artinya kikir), disini dapat dibaca dengan harakat “Fatha” pada huruf Ba’-nya, sehingga dibaca Bil Bakhli, dapat pula dibaca “Dhommah” pada Ba’-nya, sehingga menjadi Bil Bukhli.
 b. Perbedaan I’rab dan harakat (baris) kalimat sehingga mengubah maknanya, misalnya pada firman Allah Ta’ala surah Saba’ ayat 19, yang artinya “ Ya Tuhan kami jauhkanlah jarak perjalanan kami “. Kata yang diterjemahkan menjadi jauhkanlah diatas adalah “ba’id karena statusnya fi”il amar, maka boleh juga dibaca ba’ada yang berarti kedudukannya menjadi fi’il mahdhi artinya telah jauh.
 c. Perbedaan pada perubahan huruf tanpa perubahan I’rab dan bentuk tulisannya, sedangkan maknanya berubah, misalnya pada firman Allah Ta’ala dalam surah Al-Baqarah ayat 259, yang artinya “……dan lihatlah kepada tulang belulang keledai itu, kemudian kami menyusunnya kembali.” Di dalam ayat tersebut terdapat kata ننشزهاartinya (kemudian kami menyusun kembali), yang ditulis dengan huruf Zai (ز) diganti dengan huruf ra’ ( ر ) sehingga berubah bunyi menjadi ننشرها yang berarti (kami hidupkan kembali).
d. Perubahan pada kalimat dengan perubahan pada bentuk tulisannya, tetapi maknanya tidak berubah, misalnya pada firman Allah Ta’ala dalam surah Al-Qoria’ah ayat : 5, yang artinya “……..dan gunung-gunung seperti bulu yang dihamburkan “. Dalam ayat tersebut terdapat bacaan “kal-ih-ni” dengan “ka-ash-shufi” sehingga kata itu yang mulanya bermakna bulu-bulu berubah menjadi bulu-bulu domba.
e.  Perbedaan pada kalimat yang menyebabkan perubahan bentuk dan maknanya, misalnya pada ungkapan “thal in mandhud” menjadi “thalhin mandhud”
f. Perbedaan dalam mendahulukan dan mengakhirkannya, misalnya pada firman Allah Ta’ala dalam surah Qof ayat : 19, yang artinya “dan datanglah sakaratul maut dengan sebenar-benarnya”. Menurut suatu riwayat Abu Bakar pernah membacanya menjadi “wa ja’at sakrat al-haqq bin al-maut. Ia menggeser kata “al-maut” ke belakang dan memasukkan kata “al-Haq”. Sehingga jika diartikan dalam bahasa Indonesia menjadi “dan datanglah sekarat yang benar-benar dengan kematian”.
g. Perbedaan dengan menambahi dan mengurangi huruf, seperti pada firman Allah Ta’ala dalam surah al-Baqarah: 25, yang artinya “…surga-surga yang mengalir sungai-sungai di dalamnya.” Dalam ayat tersebut terdapat kata “min”, kata ini dibuang pada ayat serupa menjadi tanpa “min” dan sebaliknya pada ayat lain yang serupa menjadi tanpa “min” dan sebaliknya pada ayat lain yang serupa tidak terdapat “min” justru ditambah.

3. Sab’at ahruf adalah tujuh bahasa bagi tujuh kabilah Arab
    Kelompok ini mengatakan bahwa yang dimaksud sab’at ahruf adalah tujuh bahasa bagi tujuh kabilah Arab. Tujuh bahasa ini adalah tujuh bahasa yang paling fasih di antara suku-suku Arab, yang terbanyak adalah bahasa Quraisy, Huzail, Saqif, Kinanah, Tamim, dan Yaman. Pendapat ini dibenarkan oleh al-Baihaqi dan al-Abhari. Ibn Mansur al-Azhari (w. 370 H) menyebutkan bahwa pendapat ini sebagai pendapat yang mukhtar, dengan alasan perkataan Usman ketika menyuruh mereka menulis mushaf, “Dan sesuatu yang yang kamu perselisihkan antara kamu dan Zaid, maka kamu tulislah dengan bahasa Quraisy, karena al-Qur’an banyak turun dengan bahasa mereka”. Dari penelitian al-Sijistani mengenai bahasa al-Qur’an ternyata ditemukan lebih banyak dari bahasa-bahasa yang sudah disebutkan di depan, ia menyebutkan sekitar dua puluh delapan bahasa, sementara Abu Bakr al-Wasiti menyebutkan empat puluh bahasa, termasuk bahasa di luar rumpun bahasa Arab, seperti Nabat, Barbar, Suryani, Ibrani, dan Qibti.

4. Sab’at Ahruf yang sebagai sesuatu tidak dapat dipahami makna sebenarnya
Qadi ‘Iyad, dan ulama yang sepakat dengannya menganggap pengertian sab’at ahruf yang terdapat dalam hadis Nabi sebagai sesuatu yang pelik dan tidak dapat dipahami makna sebenarnya. Sebab kata ahruf termasuk lafaz musytarak yang secara literal (harfiyah) dapat berarti ejaan, kata, makna, sisi, ujung, bentuk, bahasa, dan arah. Sementara kata Sab’ah ada yang mengartikannya tidak dengan bilangan tujuh yang sebenarnya. Akan tetapi maksudnya hanyalah untuk memberikan kemudahan dan keleluasaan bagi umat. Sebab kata sab’ah digunakan untuk menunjukkan arti banyak (kasrah) dalam hal satuan, sebagaimana kata sab’un dalam hal puluhan dan sab’umiyah dalam hal ratusan. Dengan demikian kata sab’ah (tujuh) di sini tidak dimaksud bilangan tertentu. Sab’at ahruf adalah qira’at sab’ah. Ada yang mengatakan bahwa yang dimaksud sab’at ahruf adalah qira’at sab’ah. Ada yang menegaskannya dengan tujuh qira’ah dari tujuh sahabat Nabi, yaitu Abu Bakr, Umar, Usman, ‘Ali, Ibn Mas’ud, Ibn Abbas, dan Ubay Ibn Ka’ab, dan adapula pula yang menghubungkannya dengan qira’ah tujuh yang populer. Ibn al-Jazari mengemukakan bahwa sesungguhnya pendapat ini tidak diucapkan oleh seorangpun dari ulama-ulama, hanya pendapat ini merupakan perkataan yang memberatkan ulama dari dulu dalam menceritakan, membantah, dan menyalahkannya. Pendapat ini adalah suatu sangkaan orang-orang awam yang bodoh, tidak lain. Sesungguhnya mereka mendengar turunnya al-Qur’an dalam tujuh huruf dan tujuh riwayat, maka kemudian mereka menghayalkan hal tersebut. Hasbi ash-Shiddieqy menilai bahwa pendapat yang menyatakan bahwa sab’at ahruf sebagai sab’at qira’ah merupakan pendapat yang lemah. Pernyatan Hasbi ini memang beralasan, sebab sekalipun tujuh ahli qira’ah itu sangat berpengaruh dalam pembacaan ayat-ayat al-Qur’an, namun masih ada ahli qira’ah lain yang digunakan juga qira’ahnya. Qira’ah mutawatirah yang masyhur di kalangan umat Islam, tidak hanya qira’ah sab’ah. Dikenal pula qira’ah sittah, qira’ah asyrah, qira’ah ihda asyrah. Dengan demikian pendapat ini tidak diakui, karena tidak ada seorang ulamapun yang sepakat dengan pendapat ini.
B. Makna Qira’ah
               Menurut bahasa, qira’at (قراءات) adalah bentuk jamak dari qira’ah (قراءة) yang merupakan isim masdar dari qaraa (قرأ), yang artinya : bacaan.
Pengertian qira’at  menurut istilah cukup beragam. Hal ini disebabkan oleh keluasan makna dan sisi pandang yang dipakai oleh ulama tersebut. Berikut ini akan diberikan dua pengertian qira’at menurut istilah.
               Qira’at menurut al-Zarkasyi merupakan perbedaan lafal-lafal al-Qur'an, baik menyangkut huruf-hurufnya maupun cara pengucapan huruf-huruf tersebut, sepeti takhfif, tasydid dan lain-lain.
Dari pengertian di atas, tampaknya al-Zarkasyi hanya terbatas pada lafal-lafal al-Qur'an yang memiliki perbedaan qira’at saja. Ia tidak menjelaskan bagaimana perbedaan qira’at itu dapat terjadi dan bagaimana pula cara mendapatkan qira’at itu.
               Ada pengertian lain tentang qira’at yang lebih luas daripada pengertian dari al-Zarkasyi di atas, yaitu pengertian qira’at menurut pendapat al-Zarqani.
Al-Zarqani memberikan pengertian qira’at sebagai : “Suatu mazhab yang dianut oleh seorang imam dari para imam qurra’ yang berbeda dengan yang lainnya dalam pengucapan al-Qur’an al-Karim dengan kesesuaian riwayat dan thuruq darinya. Baik itu perbedaan dalam pengucapan huruf-huruf ataupun pengucapan bentuknya.”
               Ada beberapa kata kunci dalam membicarakan qiraat yang harus diketahui. Kata kunci tersebut adalah qira’at, riwayat dan tariqah. Berikut ini akan dipaparkan pengetian dan perbedaan antara qira’at dengan riwayat dan tariqah, sebagai berikut :
Qira’at adalah bacaan yang disandarkan kepada salah seorang imam dari qurra’ yang tujuh, sepuluh atau empat belas; seperti qira’at Nafi’, qira’at Ibn Kasir, qira’at Ya’qub dan lain sebagainya.
               Sedangkan Riwayat adalah bacaan yang disandarkan kepada salah seorang perawi dari para qurra’ yang tujuh, sepuluh atau empat belas. Misalnya, Nafi’ mempunyai dua orang perawi, yaitu Qalun dan Warsy, maka disebut dengan riwayat Qalun ‘anNafi’ atau riwayat Warsy ‘an Nafi’.
               Adapun yang dimaksud dengan tariqah adalah bacaan yang disandarkan kepada orang yang mengambil qira’at dari periwayat qurra’ yang tujuh, sepuluh atau empat belas. Misalnya, Warsy mempunyai dua murid yaitu al-Azraq dan al-Asbahani, maka disebut tariq al-Azraq ‘an Warsy, atau riwayat Warsy min thariq al-Azraq. Bisa juga disebut dengan qira’at Nafi’ min riwayati Warsy min tariq al-Azraq.

C. ASMAUL QURA ASHRAH
1.  Abu 'Amr bin 'Ala'.
Beliau adalah seorang guru besar para perawi. Nama lengkapnya adalah Zabban bin 'Ala' bin Ammar al Mazini al-Basri. Beliau adalah qari' dari Bashrah (Irak, red.) lahir pada 67 H. dan wafat di Kufah pada 154 H. Dua orang perawinya adalah ad-Dauri dan as-Susi. Ad-Dauri adalah Abu Umar Hafs bin Umar bin Abdul Aziz ad-Dauri an-Nahwi. Ad-Dauri nama tempat di Baghdad. beliau wafat pada 246 H. As-Susi adalah Abu Syu'aib Salih bin Ziyad bin Abdullah as-Susi. Beliau wafat pada 261 H.
2.  Ibnu Katsir.
Nama lengkapnya adalah Abdullah bin Katsir al-Makki. Beliau termasuk seorang Tabi'in, lahir pada 45 H. dan wafat di Makkah pada 120 H. Dua orang perawinya adalah al-Bazzi dan Qunbul. Al-Bazi adalah Ahmad bin Muhammad bin Abdullah bin Abu Bazah, muadzdzin di Makkah, beliau diberi kunyah (gelar) Abu Hasan, dan wafat pada 250 H. Sementara Qunbul adalah Muhammad bin Abdurrahman bin Muhammad bin Khalid bin Sa'id al-Makki al-Makhzumi. Beliau diberi kunyah Abu 'Amr dan diberi julukan (panggilan) Qunbul. Dikatakan bahwa ahlul bait di Makkah ada yang dikenal dengan nama Qanabilah. Beliau wafat di makkah pada 291 H.
3.   Nafi al-Madani.
Nama lengkapnya adalah Abu Ruwaim Nafi' bin Abdurrahman bin Abu Nu'aim al-Laisi, berasal dari Isfahan dan wafat di Madinah pada 169 H. Dua orang perawinya adalah Qalun dan Warasy. Qalun adlah isa bin Munya al-Madani. Beliau adalah seorang guru bahasa Arab yang mempunyai kunyah Abu Musa dan julukan qalun. Diriwayatkan bahwa Nafi' memberinya nama panggilan Qalun karena keindahan suaranya, sebab kata Qalun dalam bahasa Romawi berarti baik. Beliau wafat di madinah pada 220H. Sedang Warasy adalah Usman bin Sa'id al-Misri. Beliau diberi kunyah Abu Sa'id dan diberi julukan Warasy karena teramat putihnya. Beliau wafat di mesir pada 198 H.

4.  Ibn Amir asy-Syami.
Nama lengkapnya adalah Abdullah bin Amir al-Yahsubi, seorang kadi (hakim) di Damaskus pada masa pemerintahan Walid bin Abdul Malik. Nama panggilannya adalah Abu Imran, beliau termasuk seorang tabi'in, lahir pada 21 H dan wafat di Damaskus pada 118 H. Dua orang perawinya adalah Hisyam dan Ibn Zakwan. Hisyam adalah Hisyam bin 'Imar bin Nusair, qadhi di Damaskus. Beliau diberi kunyah Abdul Walid, wafat pada 245 H. Sedang Ibn Zakwan adalah Abdullah bin Ahmad bin Basyir bin Zakwan al-Qurrasyi ad-Daimasqi. beliau diberi kunyah Abu Amr. Dilahirkan pada 173 H, dan wafat pada 242 H. di Damaskus, (Suriah).
5.  Ashim al-Kufi.
Beliau adalah Ashim bin Abun Najud dan dinamakan pula Ibn Bahdalah, Abu Bakar. Beliau termasuk seorang tabi'in, wafat pada 1128 H di Kufah. Dua orang perawinya adalah Syu'bah dan Hafs. Syu'bah adalah abu Bakar Syu'bah bin Abbas bin Salim al-Kuffi, wafat pada 193 H. Sedang Hafs adalah Hafs bin Sulaiman bin Mughirah al-Bazzar al-Kuffi. Nama panggilannya adalah Abu Amir. Beliau adalah orang yang terpercaya. Menurut Ibn Mu'in, beliau lebih pandai qiraatnya dari pada Abu Bakar, wafat pada 180 H.
6.  Hamzah al-Kufi.
Beliau adalah Hamzah bin Habib bin Imarah az-Zayyat al-Fafdi at-Taimi. Beliau diberi kunyah Abu Imarah, lahir pada 80 H, dan wafat pada 156 H. di Halwan pada masa pemerintahan Abu Ja'far al-Mansur. Dua orang perawinya adalah Khalaf dan Khalad. Khalaf adalah Halaf bin Hisyam al-Bazzaz. Beliau diberi kunyah Abu Muhammad, dan wafat di Baghdad pada 229 H. Sedang Khalad adalah Khalad bin Khalid, dan dikatakan pula Ibn Khalid as-Sairafi al-Kufi. Beliau diberi kunyah Abu Isa, wafat pada 220 H.

7.  Al-Kisa'i al-Kufi.
Beliau adalah Ali bin hamzah, seorang imam ilmu Nahwu di Kufah. Beliau diberi kunyah Abdul Hasan, dinamakan dengan al-Kisa'i di saat ikhram. Beliau wafat di Barnabawaih, sebuah perkampungan di Ray, dalam perjalanan menuju Khurasan bersama ar-Raasyid pad 189 H. Dua orang perawinya adalah Abdul haris dan Hafs ad-Dauri. Abdul haris adalah al-Lais bin Khalid al-Baghdadi, wafat pada 240 H. Sedang Hafs al-Dauri adalah juga perawi  Abu Amr ang telah disebutkan di atas.
Daftar 3 Imam Qira'at Penggenap 10 Imam Al-Asyrah
1.  Abu Ja'far al-Madani.
Belau adalah Yazid bin Qo'qi, wafat di Madinah pada 128 H dan dikatakan pula132 H. Dua orang perawinya adalah Ibn Wardan dan Ibn Jimas. Ibn Wardan adalah Abu Haris isa bin Wardan al-Madani, wafat di Madinah pad awal 160 H. Sedang Ibn Jimaz adalah Abu Rabi' Sulaiman bin Muslim bin Jimaz al-Madani dan wafat pada akhir 170 H.
2.  Ya'kub al-Basri.
Beliau adalah Abu Muhammad Ya'kub bin Ishaq bin Zaid al-Hadrami, wafat di Basrah pada 205 H. tetapi dikatakan pula pada 185 H. Dua orang perawinya adalah Ruwais dan Rauh. Ruwais adalah Abu Abdullah Muhammad bin Mutawakkil al-Lu'lu'i al-Basri. Ruwais adalah julukannya, wafat di Basrah pada 238 H. Sedang Rauh adalah Abu Hasan Rauh bin Abdul Mu'in al-Basri an-Nahwi. Beliau wafat 234 H.atau 235 H.
3.  Khalaf.
Beliau adalah Abu Muhammad Khalaf bin Hisyam bin Sa'lab al-Bazar al-Baghdadi. Beliau wafat pada 229 H, tetapi dikatkan pula bahwa kewafatannya tidak diketahui. Dua orang perawinya adalah Iskhaq dan Idris. Iskaq adalah Abu Ya'kub Ishaq bin Ibrahim bin Utsman al-Warraq al-Marwazi kemudian al-Baghdadi. Beliau wafat pada 286 H. Sedang Idris adalah Abul Hasan Idris bin Abdul Karim al-Baghdadi al-Haddad. Beliau wafat pada hari Idul Adha 292 H.
4. PERBEDAAN SAB’ATU AHRUF DAN QIRA’AH
   1. Al ahruf adalah lafadz-lafadz yang bemacam-macam yang terkumpul dalam satu mushaf, sedangkan qira’ah adalah satu lafadz yang terkadang dibaca dengan berbagai cara dalm membacanya.
     2. Hikmah dari banyaknya huruf yaitu untuk mempermudah umat, sedangkan qira’at bermanfaat disetiap bacaan yang itu tidak akan tercapai kecuali dengannya.
PENUTUP
A. KESIMPULAN
                Dari pembahasan tentang qiraat di atas dapat diambil beberapa kesimpulan, sebagai berikut :
1. Qira’at Sab’ah bukanlah Sab’atu ahruf, tetapi qira’at Sab’ah adalah qira’at yang diriwayatkan oleh para imam qiraat yang tujuh orang, dan merupakan bagian dari Sab’atu Ahruf.
2. Qira’at ‘Asyarah adalah shahih dan sanadnya bersambung sampai kepada Rasulullsh Salallahu alahi wassalam  , maka boleh membaca al-Qur’an dengan qiraat manapun diantara salah satu dari yang sepuluh itu, di luar itu adalah Qiraat Syadz serta tidak boleh dipakai untuk membaca al-Qur’an.
3.  Qira’at, baik shahih maupun syadz, dapat dipakai untuk menetapkan hukum syar’i, sebagaimana pendapat jumhur ulama.
4.  Umat Islam sangat mementingkan masalah al-Qur’an beserta qiraatnya yang bermacam-macam itu sehingga banyak ulama mengkhususkan diri dalam maslah qiraat dengan mendalaminya, mengajarkannya dan menulis kitab-kitab tentang qiraat. Hal ini merupakan salah satu upaya untuk menjaga kemurnian al-Qur’an.
5. Perbedaan qira’at yang ada mempunyai banyak manfaat bagi umat Islam, terutama dalam memudahkan membaca al-Qur’an dan mengambil hukum dari al-Qur’an.

B. SARAN
                Dengan selesainya makalah ini tentunya masih banyak yang kurang di dalamnyai maka dari itu kami mengharapkan kritikan dan saran yang sifatnya membangun dari Ustadz yang membawakan mata kuliah ini.
                Selanjutnya selaku Penyusun makalah ini kami hanya memberikan himbauan khususnya kepada teman-teman mahasantri karena seperti yang kita ketahui bahwa mahasantri “agent social of change dan agent social of control”, maka untuk mengaplikasikannya itu maka kita dituntut untuk mengadakan inovasi dan tidak lupa kita harus membenahi diri kekurangan yang ada untuk menuju kesempurnaan.








Next PostPosting Lebih Baru Previous PostPosting Lama Beranda

0 komentar

Posting Komentar