Ali, khalifah Islam ke empat, sangat jenius. Hanya segelintir orang yang
menerima anugerah watak kesatria, berpengetahuan luas, serta memiliki
kesalehan, kejernihan pikiran dan daya imajinasi yang luar biasa. Karakter
istimewa seorang menantu Nabi besar, yang dibesarkan dan dituntun oleh Nabi
sendiri. Secara luas Ali memang diakui sebagai salah satu hasil tempaan Islam
yang terbaik. Keberaniannya membuatnya menyandang julukan "Singa
Tuhan". Seorang orientalis ternama berkata, "Pengetahuannya
merupakan 'gerbang ilmu', ia ksatria, ramah, dan sabar sebagai penguasa, ia
tokoh penting pada zamannya. Sebagian besar karya besar yang diprakarsai Umar
untuk klesejahteraan rakyat, berasal dari nasehat Ali. Dia selalu siap menolong
orang lemah dan mengganti rugi orang yang dirugikan; berbagai kisah tentang
kegagahberaniannya masih selalu diungkapkan dengan penuh gairah di pasar-pasar
di Cairo sampai New Delhi."
Ali bin Abi Thalib yang kunniyat-nya adalah Abul Hasan, dilahirkan pada tahun Gajah
ke-13. Ia keponakan Nabi dan dari suku Bani Hasyim, yang dipercayai menjadi
penjaga tempat suci Ka'bah, jabatan mulia sangat dihormati di seluruh Arab. Abi
Thalib, yang berkeluarga besar, mempercayakan Ali dibesarkan dan dididik oleh
Nabi, ia sudah dimulai sejak masa kanak-kanaknya. Kesempatan ini sangat
membantu mengarahkan sifat baiknya yang luar biasa. Sumber-sumber sejarah yang
dapat dipercaya mengemukakan bahwa Khadijah adalah wanita pertama, Abu Bakar
adalah pria pertama, dan Ali anak-anak pertama yang memeluk agama Islam.
Ali memerankan peranan penting pada waktu Nabi hijrah dari Makkah ke Madinah.
Ketika Abu Bakar menemui Nabi hijrah, dan mereka terus menerus diganggu dan
dikejar-kejar orang Quraisy Makkah, Ali tetap tinggal di Makkah untuk menjaga
sejumlah barang berharga yang dititipkan kepada Nabi, yang belakangan
dikembalikan kepada para pemiliknya. Seperti diketahui, Muhammad mendapat
kepercayaan penuh secara luas di kalangan warga Madinah, bahkan oleh musuh
bebuyutannya, yang menitipkan barang-barang milik meraka kepada Nabi.
Diceritakan Ali yang dikenal besar nyalinya, waktu itu sempat tidur nyenyak
di rumah Nabi yang dikepung musuh. Keesokan harinya, ia menyelesaikan semua
persoalannya lalu berangkat ke Madinah.
Nabi memilih Ali, pemuda yang berbakat, untuk menjadi teman hidup putri
kesayangan beliau yang cantik, Fatimah az-Zahra. Upacara pernikahan
dilaksanakan dengan sangat sederhana yang pantas sekali menjadi teladan untuk
masa-masa kemudiannya. Mas kawin yang diberikan Ali kepada Fatimah terdiri dari
sehelai kain, beberapa barang tembikar, dan batu gerinda. Dari
perkawinan itu lahir lima anak, yaitu tiga anak laki-laki, Imam
Hasan, Husain dan Muhsin, serta dua anak perempuan, Zainab dan Ummi Kalsum.
Ali hidup sangat sederhana, ia hidup mencari nafkah dengan bekerja kasar.
Kesederhanaannya antara lain dapat dilihat dari perabot rumah tangganya yang
tidak bertambah, sedang isterinya melaksanakan semua tugas kerumahtanggaan
dengan tangannya sendiri. Dalam hal daya tahan menghadapi kemiskinan, rasa
peri kemanusiaan yang tinggi, semangat beramal, dan kesediaan mengorbankan
kepentingan diri sendiri, pasangan Islam ini hampir tidak ada tandingannya
dalam sejarah umat manusia. Kalau bepergian, mereka selalu lebih suka tidak
membawa makanan, yang terdiri dari menu yang sederhana, daripada nantinya di
rumah mereka terpaksa menolak peminta-minta.
Ali diminta oleh Nabi menyampaikan ajaran Islam kepada penduduk Yaman, hal
yang sebelumnya gagal dilakukan para penyebar agama Islam lainnya. Sebaliknya
dengan Ali, yang berhasil dengan baik sekali melakukannya dan suku bangsa
Hamdan malahan langsung memeluk agama Islam pada hari kedatangannya di negeri
itu. Kemahirannya berpidato, intelektualitas yang tinggi, dan kekuatan
persuasifnya sangat membantu Ali mempopulerkan Islam di daerah-daerah yang
tadinya bersikap bermusuhan itu.
Watak kesatriannya meninggalkan bekas yang tidak dapat dihapuskan dalam
sejarah awal agama Islam. Sikapnya gagah berani dalam membela Islam dinilai
luar biasa. Ia benar-benar telah membuktikan diri sebagai benteng paling
tangguh bagi agama baru permusuhan yang pernah terus-menerus menerima sikap
permusuhan dari berbagai kekuatan asing. Semasa hidup Nabi, Ali memainkan
peranan penting di semua peperangn yang berlangsung di waktu itu. Hanya dalam
perang Tabuk ia absen, ketika dengan berat hati ia harus tinggal di
Madinah atas perintah Nabi. "Anda menghadapiku sama seperti Harun
menghadapi Musa, kecuali bila tidak ada lagi Nabi setelah aku."
Ali pertama kali menunjukkan keberaniannya dalam perang Badar, ketika ia
mengalahkan Walid dan Sheba, prajurit Arab yang terkenal, dalam
pertempuran satu lawan satu. Ketika pembawa panji-panji Islam mati terbunuh
dalam pertempuran di Ohad, ia dengan berani mengambil panji-panji itu lalu
membunuh pembawa panji-panji musuh.
Karena kepahlawanannya yang luar biasa itu, orang menjulukinya "La
Fata Illa Ali" (Tak ada pemuda seperti Ali), dua tahun kemudian, ia
berhadapan dengan Amir ibn Abad Wudd, prajurit Arab yang sangat
terkenal, yang dibunuhnya dalam suatu duel. Dari seluruh kegiatan perangnya,
yang paling menonjol saat ia ambil bagian dalam perebutan benteng kota Khaibar,
yang semula dianggap tidak dapat ditaklukan. Benteng itu diperkuat oleh
orang-orang Yahudi dan sebelumnya dapat mempertahankan diri dari serangan-serangn
tentara Muslimin, di bawah komando Abu Bakar dam Umar. Sehari sebelum benteng
itu direbut, Nabi berkata, "Besok panji-panji Islam akan dipercayakan
kepada seseorang yang akan merebut benteng itu. Orang tersebut mencintai Allah
dan Nabinya, dan Allah serta Nabi juga mencintai dia." Keesokan
harinya Ali dipanggil menghadap Nabi. Nabi menggenggamkan panji-panji di
tangannya. Ali pun pergi melaksanakan perintah. Dengan menghancurkan pintu
gerbangnya yang besar, yang sebelumnya tidak tergeserkan oleh kekuatan 12
laki-laki, benteng itu pun direbut dengan gemilang.
Rasa belas kasih kepada musuh yang dikalahkan adalah bagian dari watak
kesatria. Beberapa kali Ali mengampuni orang-orang yang kalah perang. Di
antaranya ketika dalam suatu aksi militer, seorang musuh jatuh dari kudanya ke
tanah sampai pakaiannya terlepas seluruhnya, dan orang membiarkannya. Menurut
Ibn Saad, suatu waktu seorang bernama Ibn Muljem, dibawa menghadap ke
hadapannya. Ali ingat bahwa orang itu pernah menyerangnya, namun ia menyadari
musuhnya itu kini sudah tak berdaya. Ia lalu memerintahkan anak buahnya aga
memperlakukan Ibn Muljem dengan sebaik-baiknya.
Dalam masa pemerintahan dua khalifah yang pertama, Ali bertindak sebagai
penasehat utama. Ia menyelesaikan segala masalah kenegaraan yang rumit, dan
semua keputusan penting Khalifah diambil setelah berkonsultasi dengannya.
Dalam segala hal nasehatnya selalu diminta, terutama mengenai masalah hukum dan
agama yang orang menganggap paling dikuasainya. Pikiran-pikirannya dihargai tinggi
oleh kawan maupun lawan. Setelah wafatnya Nabi, Ali mengkususkan diri kepada
kegiatan memajukan kehidupan moral dan intelektual umat dan jarang ikut
berperang. Ia juga turut mengurusi pekerjaan administrasi pemerintahan Umar.
Ali terpilih menjadi khalifah setelah mati syahidnya Usman, ketika dunia
Islam menghadapi huru-hara, yang memuncak dengan dikepungnya Madinah oleh kaum
perusuh. Penduduk Madinah, kota metropolitan itu, serta berbagai propinsi
disekitarnya, berlomba-lomba menyampaikan sumpah setia kepadanya. Ia memang
dianggap tokoh paling pantas untuk meduduki jabatan paling tinggi itu. Tapi
Muawiyah, yang telah mengumpulkan kekutan besar disekelilingnya, menyatakan
akan menuntut balas atas kematian Usman. Sebagai orang pandai, Muawiyah sadar
akan kecilnya peluang yang terbuka baginya untuk meduduki jabatan tertinggi itu
selagi Ali masih ada. Ini mendorongnya merencanakan suatu cara yang dapat
memenangkan dukungan rakyat.
Di pihak Ali, ia menyadari bahwa para perusuh terlalu kuat untuk dihadapi
dengan tindakan sembrono dan tergesa-gesa yang bisa berakibat pada kehancuran
agama Islam. Kenyataan ini membuat Ali menahan diri. Ia tetap berkeinginan
menghadapi para pengacau dengan tegas, tapi pada saat yang menguntungkan.
Kepada Talha dan Zubair yang mendesak agar para pembunuh Usman dihukum dengan
segera, Ali menjawab, "Saya sendiri tidak kurang inginnya melakukan hal
yang sama, tapi saya tidak boleh bertindak demikian. Ini saat yang sangat
kritis. Gangguan keamanan di pusat kerajaan dapat mendorong orang Badui dan
orang asing berontak. Kalau ini terjadi, sekali lagi tanah Arab akan kembali ke
zaman jahiliyah. Padahal, mereka berada di luar kontrol kita. Tunggu dan
lihatlah sampai Allah menunjukkan kepada saya jalan keluar dari kesulitan
ini." Sesungguhnya keadaan telah menjadi begitu kritis, dan suasana
politik telah demikian eksplosifnya, sehingga setiap tindakan drastis yang
diambil untuk menumpas para perusuh akan membahayakan keamanan negara. Namun,
lawan-lawan Ali memutuskan menggunakan situasi itu untuk keuntungan mereka.
Hampir semua sejarawan Muslim terkemuka menyatakan keraguannya tentang motif di
belakang tindakan oposisi Muawiyyah. Mereka berkeyakinan, ada maksud kurang
jujur di belakang oposisi Aisyah, Talha, dan Zubair dalam masalah Muawiyah ini.
Keinginan menuntut balas atas kematian Usman bukanlah motif sebenarnya dari
ancaman Muawiya. Sedang Ali mengupayakan segala kemungkinan penyelesaian secara
damai sebelum menyatakan perang kepada Muawiyah demi mempertahankan solidaritas
nasional. Ditemani Talha dan Zubair, Aisyah yang sangat terguncang dengan
wafatnya Usman, bergerak maju ke Basrah, tapi ia kemudian menyerah (656 M).
Ketika diberitahukan gerakan Aisyah dan kawan-kawan, Ali langsung berangkat ke
Basrah. Pada 12 Rajab tahun 36 H, Kufa memberi penyambutan besar-besaran kepada
khalifah, termasuk pesta besar di istana. Tapi khalifah yang alim dan sederhana
itu menolak pesta pora dan lebih suka berkemah di udara terbuka. Di Kufa, kedua
pasukan itu berhadap-hadapan, tapi kemudian meletakkan senjata masing-masing
karena Ali dan Aisyah ingin menghindari pertempuran dan bertekad mencari
penyelesaian lewat perundingan.
Ini, sesungguhnya bertentangan dengan kepentingan kaum Saba, sebagian
tentara Ali sendiri, yang berniat menyebarkan rasa permusuhan di antara kedua
tentara. Tujuan akhirnya jelas: ingin meruntuhkan Islam. Maka pada suatu malam,
ketika penyelesaian sudah hampir tercapai, kelompok Saba diam-diam menyerang
tentara lawan, dan pecahlah pertempuran. Dalam keadaan demikian, Ali maupun
pihak Kufa menganggap pihak lawannyalah yang telah memulai peperangan. Ali
berusaha keras menentramkan para prajuritnya dan mengingatkan Zubair akan
ramalan Nabi. Dengan cara ini Zubair dapat dibujuk untuk segera menarik
tentaranya dari medan tempur. Malangnya, dalam perjalanan kembali ke Makkah,
selagi dia sedang bersembahyang di suatu tempat, seorang Saba telah
membunuhnya. Ketika seorang penjahat "mempersembahkan" kepala Zubair
kepadanya, dengan geram Ali berkata, "Sampaikan kepada pembunuh Zubair
kabar dari neraka." Akhirnya tentara yang dipimpin Aisyah dikalahkan.
Khalifah sendiri datang menjenguk wanita terhormat itu, dan menanyakan
keadaannya. Masih dengan rasa penghormatan, Aisyah dikirim kembali ke Madinah
diiringkan sejumlah wanita terhormat. Bahkan khalifah sendiri mengantarnya
cukup jauh.
Perhatian Khalifah Ali sekarang tertuju kepada Muawiyah. Gubernur Syria
yang memberontak itu sedang menjadi ancaman bagi solidaritas dan keutuhan
negara Islam. Sebagai seorang yang berperikemanusiaan, Ali dengan maksimal
berusaha mengadakan penyelesaian secara damai dan menghindari pertumpahan darah
kaum Muslimin. Tapi persyaratan damai yang disampaikan Muawiyah tidak masuk
akal. Ali lalu menawarkan cara penyelesaian perselisihan dengan perkelahian
satu lawan satu, tapi ditolak kaum Umayyah. Akhirnya pertempuran mati-matian
antara dua tentara tak terelakan lagi. "Kaum pemberontak dikalahkan dalam
tiga kali pertempuran beruntun yang menentukan," papar seorang sejarawan
ternama. "Kaum Muawiyah sudah siap melarikan diri dari medan tempur,
ketika tipu daya kaki tangan Amr, putra dari Aas, menyelamatkan mereka dari
kepunahan. Dia memberikan kepada tentara sewaannya Al-Qur'an untuk dipasang di
ujung tombak dan di pucuk tiang bendera mereka berteriak-teriak minta ampun.
Tentara khalifah segera berhenti mengejar dan meminta agar mereka menyelesaikan
perselisihan melalui pihak penengah (arbitrase).
Arbitrase itu berakhir dengan kekacauan. Penyebabnya, ditipunya Abu Musa
Asy'ari, wakil Ali, oleh Amr bin al-Aas yang licik yang mewakili
Muawiyah.
Pertentangan dalam pemerintah Islam sendiri telah melahirkan sekelompok
orang fanatik yang dinamakan Khariji, yang terbukti menjadi ancaman bagi
pemerintahan Ali. Mereka menyebarkan kekacauan di seluruh kerajaan khalifah,
membunuh orang-orang yang tidak berdosa dan memaksa penduduk mengikuti
fanatismenya. Pada mulanya khalifah mencoba mengatasi kaum fanatik Khariji
dengan kesabaran luar biasa. Tapi akhirnya terpaksa Ali menggunakan tangan besi
dan mereka ditindas melalui pertempuran yang dahsyat.
Lalu orang Kerman dan Parsi memberontak terhadap kekuasaan khalifah. Ali
mengirim Zaid bin Abiha ke sana, dan Zaid berhasil menumpas pemberontakan serta
mengembalikan ketentraman. Sebagai ganjarannya, Ali bukannya menghukum para
pemberontak, tapi sebaliknya memperlakukan mereka dengan lemah lembut.
Sepantasnya memang bila orang Parsi menjulukinya 'Nusyirwan': orang yang
adil.
Kembli pada pemberontakan orang Khariji (fanatik), yang pada akhirnya Ali
sendiri yang menjadi korban, tiga orang Khariji merencanakan membunuh tiga
orang. Yaitu Ali, Muawiyah, dan Amr bin al-Aas. Ibn Maljem yang diserahi
membunuh khalifah menyerangnya ketika Ali hendak bersembahyang. Tapi
khalifah yang arif dan adil itu memerintahkan orang-orangnya agar memperlakukan
si pembunuh dengan penuh kebajikan.
Salah satu putra Islam terbesar itu meninggal pada usia 63 tahun. Pemerintahannya
berlangsung selama 4 tahun 9 bulan dan ia ditakdirkan menjalankan kemudi
pemerintahan Islam melalui masa-masa paling kritis berupa pertentangan antar
kelompok. Ia sangat sederhana, saleh, rendah hati dan penuh kebajikan. Dalam
dirinya tersimpan nilai-nilai kemanusiaan yang besar, senang membantu orang
miskin, dan suka memaafkan musuh yang bahkan telah mengancam jiwanya.
Kadang-kadang kebajikan Ali muncul sebagai kelemahannya juga. Kekuasaan dan
keagungan keduniawian tidaklah menarik dirinya. "Demikianlah, ia telah
wafat," kata seorang penulis kenamaan, Kolonel Osborn, "dalam usia
yang sebaik-baiknya, seorang Muslimin yang terbaik pernah hidup." Lemah lembut
dan berperikemanusiaan, siap memberi pertolongan kepada yang lemah dan
menderirta, kehidupanya telah diabdikannya demi tegaknya Islam.
Ali terpilih menjadi khalifah ketika Islam banyak digoncang berbagai
gejolak. Diberkahi keberanian luar biasa tapi dengan pertimbangan yang dalam,
ia berperang meredam gelombang pemberontakan yang hendak menghancurkan
dasar-dasar negara Islam pertama itu. Dalam awal sejarah Islam, tidak ada orang
yang dapat menyamainya dalam sikap kesatria. Ia dikenal dengan julukan 'Singa
Tuhan'. Keberaniannya telah menjadi seperti dongengan, yang masih juga
diungkapkan di seluruh dunia Islam.
Ali sangat jenius. Dibesarkan oleh Nabi Muhammad dan berkesempatan
menemani Nabi selama sekitar 30 tahun, Ali menempati posisi yang unik sebagai
intelektual terbesar di antara para sahabat Nabi. Sebagaimana
Aristoteleles, ia juga dikenal sebagai bapak ilmu pengetahuan Islam. Di
dalam kitab Izalat ul-Khifa, Shah Waliullah atas nama Imam
Hambali memuji intelektualitas Ali yang tinggi sebagai akibat didikan yang
diberikan Nabi. Kenyataan ini dikuatkan Nabi: "Aku menjadi gudang ilmu
pengetahuan, sedangkan Ali menjadi gerbangnya." Ia seorang Hafidz
Qur'an dan penafsir berkualitas tinggi. Bersama Ibn Abbas, Ali dianggap
sebagai ahli terbesar Al-Qur'an. Selama enam bulan pertama kekhalifahan Abu
Bakar, ia mengatur bab-bab Al-Qur'an menurut urut-urutan waktu turunnya
wahyu.
Dalam bukunya yang terkenal Al Fibrits , Ibn Nadim
menjelaskan bahwa Ali sangat berhati-hati dalam menyaring laporan tentang
tradisi sedemikian rupa, sehingga yang dilaporkan dikumpulkannya itu diterima
luas sebagai suatu yang otentik. Ali juga seorang Mujtahid dan ahli hukum
pada zamannya, malahan yang terbesar di segala zaman. Ia mampu
menyelesaikan semua masalah rumit dan yang paling musykul sekalipun. Bahkan
yang berkepribadian tinggi seperti Umar dan Aisyah menyampaikan berbagai
kesulitan yang mereka hadapi kepadanya. Semua sekolah agama menganggapnya
sembagai bapak mistik Islam. Ahli mistik terkenal, Junaid Baghdadi,
mengakui Ali memiliki otoritas paling tinggi dalam ilmu mistik. Menurut
Shah Waliullah dalam Izalat-ul-Khifa , Ali menghabiskan banyak waktunya
untuk mistik, sebelum ia terpilih sebagai Khalifah. Ia seorang dari dua orator
terbesar pada aawal masa Islam, di samping Abu Bakar. Menurut Ibn Nadim, Ali
juga peletak dasar tata bahasa Arab.
Tak disangsikan lagi, Ali adalah ahli hukum terbesar pada masa permulaan
Islam. Dikisahkan, pada suatu waktu dua wanita bertengkar
memperebutkan seorang bayi laki-laki, masing-masing menyatakan bayi itu
anaknya. Kedua perempuan itu lalu dibawa menghadap Ali. Sesudah mendengar
penjelasan masing-masingnya, ia memerintahkan agar bayi itu dipotong-potong.
Mendengar hal ini, seorang di antara wanita tadi langsung menangis dan dalam
linangan air mata memohon Khalifah menyelamatkan si bayi dan dialah ibu si bayi
yang sesungguhnya! Ali langsung memberikan bayi itu kepada ibunya yang
sejati, dan menghukum wanita yang seorang lagi.
Umar mengomentari Ali sebagai berikut: "Semoga Tuhan melindungi; kita
boleh saja menghadapi isu yang kontroversial, tapi Ali selalu bisa
menyelesaikannya." Menurut Abdullah ibn Mas'ud, Ali memiliki kemampuan
memberikan pertimbangan yang baik sekali. Nabi sendiri mempercayai berbagai
pertimbangan yang disampaikan Ali, dan mengangkatnya sebagai khadi di Yaman.
Nabi memerintahkan Ali agar tidak menyampaikan keputusannya sebelum mendengar
kedua pihak yang bersengketa. Bahkan lawan-lawannya, antara lain Muawiya,
menyampaikan berbagai masalah rumit dan meminta pertimbangannya. Sejarah
permulaan Islam penuh dengan pertimbangan yang bersifat ilmiah yang pernah
disampaikannya.
Sejarawan masa itu dan sesudahnya menghargai tinggi kepandaian dan
kebajikan Ali. Sejarawan ternama Masudi berkata, "Jika nama agung
sebagai Muslim pertama, sebagai sahabat Nabi ketika hijrah dan yang terpercaya
dalam perjuangan menegakkan iman, sahabat akrab Nabi dalam kehidupan dan bagi
keluarganya; ilmu yang dimiliki benar-benar disemangati ajaran Nabi dan ajaran
Al-Qur'an; yang menjauhkan diri dari berbagai keinginan pribadi serta tegar
dalam menjalankan keadilan; yang jujur, cinta kepada kesucian dan kebenaran;
yang memiliki pengetahuan yang dalam tentang hukum dan ilmu, yang merupakan
sebagian dari sifat-sifatnya yang ulung; semua orang tentu harus menganggap Ali
sebagai Muslim yang paling terkemuka." Tokoh ternama seperti Syah
Waliullah, dalam bukunya yang terkenal Izalat-ul-Khifa , pernah
membicarakan panjang lebar sifat-sifat Ali yang agung. Dia berkesimpulan, kekesatriaan
dan kekuatan watak, kemanusiaan dan keikhlasan hati, yang menjadi ciri-ciri
orang besar, semuanya dimiliki Ali.
Sejarawan lain memperkuat dengan: "Contoh kesederhanaan yang
diwariskan Nabi kepada empat pengganti beliau tidak ada taranya dalam sejarah.
Raja-raja dari kerajaan yang luas itu melaksanakan kehidupan seperti para
pertapa dan tidak pernah ingin memanfaatkan kekayaan yang bergelimang di
hadapannya. Istana dan jubah kerajaan ada pada mereka, tapi keempat raja itu,
jasmaniah maupun rohaniah, sangat bangga dengan gubuk tempat tinggalnya dan
pakaian lusuh yang mereka pakai. Cara mereka hidup jauh lebih sederhana
daripada rakyatnya. Sama seperti rakyat biasa, mereka ke masjid tanpa
pengawalan, malahan mereka tidak mempunyai polisi atau pengawal pribadi sama
sekali. Sebaliknya, untuk kesejahteraan negara dan rakyat, keempat khalifah
begitu besar perhatiannya sehingga soal kecil saja yang timbul di daerah
perbatasan yang jauh segera menjadi perhatian mereka. Sepenuh hati dan jiwanya
mereka abdikan mencintai Allah, dan seluruh tenaga mereka dibaktikan melayani
rakyat."
0 komentar
Posting Komentar